Jumat, 05 September 2014

CATATAN SEORANG (yang katanya) AKTIVIS

Hari ini (02/09/2014) dimulai lah masa kampanye bagi calon ketua OSIS di salah satu SMK swasta di kabupaten Klaten. Tahun ini ada delapan orang yang siap “bertempur” memperebutkan posisi sebagai ketua OSIS. Di antara delapan orang calon, ada dua orang yang menurut saya memiliki visi dan misi yang menjanjikan. Visi misi mereka cukup jelas dan tegas jika dibandingkan dengan keenam calon yang lain. Dan yang menarik adalah bahwa sebagian besar dari mereka berasal dari kelas yang sama. Saya mengenal mereka, dan saya paham akan potensi yang dimiliki oleh kedelapan calon tersebut. Sehingga siapa pun yang memenangi “kontes” kali ini, saya yakin akan berdampak positif bagi perkembangan OSIS kedepannya.
***
            Di kampus tempat saya menuntut ilmu, di sebuah kampus yang katanya berbudaya di sebuah universitas negeri di Yogyakarta, ada momen yang serupa dengan yang saya sebut di atas. Sekitar tiga bulan dari sekarang akan ada sebuah event besar yang diadakan setiap akhir tahun, sebuah event yang bernama PEMILWA (Pemilu Mahasiswa), yang menyedot perhatian hampir seluruh civitas akademika. Mulai dari mahasiswa hingga jajaran birokrasi kampus. Prosesnya sedikit berbeda dengan pemilihan OSIS yang saya sebut di atas, namun hampir mirip seperti Pemilu pada umumnya; dimulai dari pembentukan Komisi Pemilihan, pendaftaran calon ketua dan wakil ketua, kampanye, dan puncaknya adalah hari “H” pencoblosan. Yang berbeda adalah jika pada pemilihan OSIS di atas terdapat delapan calon ketua, sedangkan di kampus tempat saya menuntut ilmu (biasanya) hanya akan ada dua calon saja. Sudah sekian tahun sejak pertama kali saya masuk di kampus ini, hanya ada dua pasang calon saja yang saling memperebutkan posisi sebagai ketua sekaligus wakil bagi para mahasiswa (sebut saja Ketua BEM, Badan Eksekutif Mahasiswa). Entah sejak kapan di kampus ini hanya ada dua pasang calon yang saling memperebutkan tahta sebagai ketua dan wakil ketua mahasiswa. Pada mulanya saya mengira bahwa aturanlah yang menginstruksikan demikian. Tapi pada kenyataannya tak ada satupun aturan yang menyebutkan bahwa hanya dua pasang calon saja yang diperkenankan mengikuti proses politik kampus tersebut—harus dibedakan dengan politik bernegara.
            Beberapa tahun telah berlalu semenjak saya menjadi bagian dari kampus ini. Setelah saya akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan beberapa Hima/Ormawa—sebuah wadah penampung kreatifitas mahasiswa—secara tidak langsung saya telah menerjunkan diri dikancah perpolitikan kampus. Gembar gembor bahwa mahasiswa adalah agent of change bagi peradaban bangsa dan negara membuat saya tertarik untuk turut serta aktif dalam kegiatan organisasi. Dari situ saya mulai memahami bahwa terdapat sebuah jurang yang dalam dan lebar yang menjadi sekat pembatas antara dua kelompok utama yang bertarung untuk saling memperebutkan pengaruh dalam kontes politik kampus. “Bertarung” dalam artian yang sesungguhnya, karena kedua kelompok tersebut memang seringkali bersitegang hampir disetiap kesempatan, apalagi ketika datangnya saat-saat OSPEK dan Pemilwa. Begitu pula dengan “kontes” disini yang mengandung arti sebuah perlombaan (KBBI edisi ketiga) memperebutkan posisi sebagai ketua mahasiswa, dimana pada kontes tersebut pasti diramaikan dengan aksi saling adu komentar di jejaring sosial. Mulai dari perang visi-misi, hingga perang kata-kata dengan saling melontarkan kalimat-kalimat pedas, kritik tajam, hingga hujatan-hujatan yang menurut saya sudah kelewat batas kewajaran. Kedua kubu saling ngotot dengan pendapatnya masing-masing dan merasa bahwa pendapatnya lah yang paling benar. Saking panasnya persaingan antar kedua kelompok sehingga memunculkan istilah “kanan dan kiri” untuk merepresentasikan masing-masing kelompok.
            Pada awalnya saya memposisikan diri dengan salah satu kelompok untuk mempertahankan ideologi dan pendapat kami (bukan “kita”). Tetapi seiring berjalannya waktu, serta bertambahnya umur yang semakin dewasa, saya mulai menyadari bahwa apa yang selama ini saya lakukan hanyalah sia-sia belaka. Apa yang saya perjuangkan selama ini tidak lain hanyalah kepentingan orang lain di luar sana yang dititipkan kepadaku dan kawan-kawanku. Apa yang mereka titipkan kepada kami bukan merupakan sebuah tugas dan misi bagi seorang mahasiswa sebagai agent of change bagi kemajuan bangsa dan negara, melainkan kepentingan pihak luar yang dipaksakan masuk kedalam kampus. Sejak saat itu muncullah beberapa konflik diantara aku dan kawan-kawanku dikarenakan aku yang kini berbeda pendapat dengan mereka. Meskipun begitu, saya tetap menjalin komunikasi dengan mereka, dan tetap menganggap mereka sebagai seorang kawan.
            Semenjak saat itu saya mulai berpikir bahwa harus ada seorang sosok yang berani mengubah sistem politik di kampus yang katanya berbudaya itu. Dari banyak perbincangan dengan beberapa orang, saya bisa menyimpulkan bahwa tidak sedikit dari para mahasiswa yang juga sudah mulai muak dengan kondisi politik yang ada sekarang. Mereka sudah mulai bosan dengan calon ketua dan wakilnya yang itu-itu saja. Mereka juga sudah bosan dengan konflik di media sosial yang semakin tidak jelas ujungnya. Ramai di dunia maya, namun damai di dunia nyata. Itulah kenyataan yang ada sekarang. Namun dari sekian orang yang sudah mulai “sadar” itu tak satupun dari mereka yang mau bergerak untuk mengubah keadaan. Tak ada satupun yang berani berdiri mengubah sistem politik kampus yang katanya “kekeluargaan” namun pada kenyataannya justru sebaliknya. Alih-alih mencoba untuk mengubah sistem, mereka justru mencari aman dengan berdiam diri dan apatis terhadap kondisi yang ada sekarang. Mereka malah justru ikut-ikutan terjerumus pada lingkaran setan yang menyesatkan. Atau bahkan yang lebih parah, bergabung dengan salah satu pihak untuk mengambil kesempatan mendapatkan posisi yang mapan dan strategis.
            Sudah saatnya sebelum semuanya terlambat, sebelum semuanya berubah menjadi lebih parah, marilah sadarkan diri kita masing-masing akan kondisi lingkungan sekitar. Jangan sampai hanya karena ketidaktahuan dan ketidak pahaman kita, kita terjerumus kedalam situasi yang tidak menyenangkan yang justru merugikan diri kita sendiri dan orang lain di sekitar kita. Siapkan diri kalian, beranikan diri kalian untuk mengambil sebuah langkah perubahan! Sebuah langkah menuju bangsa yang bertaqwa, mandiri, dan cendekia!

Written by Elessar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar