Hari ini (02/09/2014) dimulai lah
masa kampanye bagi calon ketua OSIS di salah satu SMK swasta di kabupaten
Klaten. Tahun ini ada delapan orang yang siap “bertempur” memperebutkan posisi
sebagai ketua OSIS. Di antara delapan orang calon, ada dua orang yang menurut
saya memiliki visi dan misi yang menjanjikan. Visi misi mereka cukup jelas dan
tegas jika dibandingkan dengan keenam calon yang lain. Dan yang menarik adalah
bahwa sebagian besar dari mereka berasal dari kelas yang sama. Saya mengenal
mereka, dan saya paham akan potensi yang dimiliki oleh kedelapan calon
tersebut. Sehingga siapa pun yang memenangi “kontes” kali ini, saya yakin akan
berdampak positif bagi perkembangan OSIS kedepannya.
***
Di
kampus tempat saya menuntut ilmu, di sebuah kampus yang katanya berbudaya di
sebuah universitas negeri di Yogyakarta, ada momen yang serupa dengan yang saya
sebut di atas. Sekitar tiga bulan dari sekarang akan ada sebuah event besar yang diadakan setiap akhir
tahun, sebuah event yang bernama
PEMILWA (Pemilu Mahasiswa), yang menyedot perhatian hampir seluruh civitas
akademika. Mulai dari mahasiswa hingga jajaran birokrasi kampus. Prosesnya
sedikit berbeda dengan pemilihan OSIS yang saya sebut di atas, namun hampir
mirip seperti Pemilu pada umumnya; dimulai dari pembentukan Komisi Pemilihan,
pendaftaran calon ketua dan wakil ketua, kampanye, dan puncaknya adalah hari
“H” pencoblosan. Yang berbeda adalah jika pada pemilihan OSIS di atas terdapat
delapan calon ketua, sedangkan di kampus tempat saya menuntut ilmu (biasanya)
hanya akan ada dua calon saja. Sudah sekian tahun sejak pertama kali saya masuk
di kampus ini, hanya ada dua pasang calon saja yang saling memperebutkan posisi
sebagai ketua sekaligus wakil bagi para mahasiswa (sebut saja Ketua BEM, Badan
Eksekutif Mahasiswa). Entah sejak kapan di kampus ini hanya ada dua pasang
calon yang saling memperebutkan tahta sebagai ketua dan wakil ketua mahasiswa.
Pada mulanya saya mengira bahwa aturanlah yang menginstruksikan demikian. Tapi
pada kenyataannya tak ada satupun aturan yang menyebutkan bahwa hanya dua
pasang calon saja yang diperkenankan mengikuti proses politik kampus
tersebut—harus dibedakan dengan politik bernegara.
Beberapa
tahun telah berlalu semenjak saya menjadi bagian dari kampus ini. Setelah saya
akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan beberapa Hima/Ormawa—sebuah wadah
penampung kreatifitas mahasiswa—secara tidak langsung saya telah menerjunkan
diri dikancah perpolitikan kampus. Gembar gembor bahwa mahasiswa adalah agent of change bagi peradaban bangsa
dan negara membuat saya tertarik untuk turut serta aktif dalam kegiatan organisasi.
Dari situ saya mulai memahami bahwa terdapat sebuah jurang yang dalam dan lebar
yang menjadi sekat pembatas antara dua kelompok utama yang bertarung untuk
saling memperebutkan pengaruh dalam kontes politik kampus. “Bertarung” dalam
artian yang sesungguhnya, karena kedua kelompok tersebut memang seringkali
bersitegang hampir disetiap kesempatan, apalagi ketika datangnya saat-saat
OSPEK dan Pemilwa. Begitu pula dengan “kontes” disini yang mengandung arti
sebuah perlombaan (KBBI edisi ketiga) memperebutkan posisi sebagai ketua
mahasiswa, dimana pada kontes tersebut pasti diramaikan dengan aksi saling adu
komentar di jejaring sosial. Mulai dari perang visi-misi, hingga perang
kata-kata dengan saling melontarkan kalimat-kalimat pedas, kritik tajam, hingga
hujatan-hujatan yang menurut saya sudah kelewat batas kewajaran. Kedua kubu saling
ngotot dengan pendapatnya masing-masing dan merasa bahwa pendapatnya lah yang
paling benar. Saking panasnya persaingan antar kedua kelompok sehingga
memunculkan istilah “kanan dan kiri” untuk merepresentasikan masing-masing
kelompok.
Pada
awalnya saya memposisikan diri dengan salah satu kelompok untuk mempertahankan
ideologi dan pendapat kami (bukan “kita”). Tetapi seiring berjalannya waktu,
serta bertambahnya umur yang semakin dewasa, saya mulai menyadari bahwa apa
yang selama ini saya lakukan hanyalah sia-sia belaka. Apa yang saya perjuangkan
selama ini tidak lain hanyalah kepentingan orang lain di luar sana yang
dititipkan kepadaku dan kawan-kawanku. Apa yang mereka titipkan kepada kami
bukan merupakan sebuah tugas dan misi bagi seorang mahasiswa sebagai agent of change bagi kemajuan bangsa dan
negara, melainkan kepentingan pihak luar yang dipaksakan masuk kedalam kampus.
Sejak saat itu muncullah beberapa konflik diantara aku dan kawan-kawanku
dikarenakan aku yang kini berbeda pendapat dengan mereka. Meskipun begitu, saya
tetap menjalin komunikasi dengan mereka, dan tetap menganggap mereka sebagai
seorang kawan.
Semenjak
saat itu saya mulai berpikir bahwa harus ada seorang sosok yang berani mengubah
sistem politik di kampus yang katanya berbudaya itu. Dari banyak perbincangan
dengan beberapa orang, saya bisa menyimpulkan bahwa tidak sedikit dari para
mahasiswa yang juga sudah mulai muak dengan kondisi politik yang ada sekarang.
Mereka sudah mulai bosan dengan calon ketua dan wakilnya yang itu-itu saja.
Mereka juga sudah bosan dengan konflik di media sosial yang semakin tidak jelas
ujungnya. Ramai di dunia maya, namun damai di dunia nyata. Itulah kenyataan
yang ada sekarang. Namun dari sekian orang yang sudah mulai “sadar” itu tak
satupun dari mereka yang mau bergerak untuk mengubah keadaan. Tak ada satupun
yang berani berdiri mengubah sistem politik kampus yang katanya “kekeluargaan”
namun pada kenyataannya justru sebaliknya. Alih-alih mencoba untuk mengubah
sistem, mereka justru mencari aman dengan berdiam diri dan apatis terhadap
kondisi yang ada sekarang. Mereka malah justru ikut-ikutan terjerumus pada
lingkaran setan yang menyesatkan. Atau bahkan yang lebih parah, bergabung
dengan salah satu pihak untuk mengambil kesempatan mendapatkan posisi yang
mapan dan strategis.
Sudah
saatnya sebelum semuanya terlambat, sebelum semuanya berubah menjadi lebih
parah, marilah sadarkan diri kita masing-masing akan kondisi lingkungan
sekitar. Jangan sampai hanya karena ketidaktahuan dan ketidak pahaman kita,
kita terjerumus kedalam situasi yang tidak menyenangkan yang justru merugikan
diri kita sendiri dan orang lain di sekitar kita. Siapkan diri kalian,
beranikan diri kalian untuk mengambil sebuah langkah perubahan! Sebuah langkah
menuju bangsa yang bertaqwa, mandiri, dan cendekia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar